Rabu, 26 Oktober 2011

SUBLIMISASI BUDAYA PATRIARKHI DALAM PRODUK-PRODUK MEDIA MASSA


Perkembangan tekhnologi komunikasi, diharapkan mampu meretas jalan menuju pada pembentukan budaya baru di tengah masyarakat. Mampu melakukan proses konstruksi nilai-nilai baru yang kemudian dianggap modern dan diharapkan menjadi nilai universal yag kemudian aka melahirkan sebuah kebudayaan yang tidak terkotak-kotakdalam ruang-ruang etnis dan wilayah.
Sebaran media yang luas, kemudia diharapkan mampu meruntuhkan batasan ruang-ruang dan waktu yang dahulunya di anggap sebagai faktor utama penghambat perubahan. Ia perubahan bisa saja terjadi di berbagai lini kehidupan manusia, bagaimana cara manusia berbicara, bagaimana cara masyarakat membangun interaksinya dengan sesama masyarakat. Hingga kemudian abagaimana masyarakat memperlakukan alam semesta dalam proses pemenuhan kebutuhannya.
Akan tetapi perubahan demi perubahan tersebut.  Tidak kemudian melahirkan semacam perbaikan yang signifikan atas hidup perempuan. Bahwa kemudian media massa diharapkan mampu mendekonstruksi ruang-ruang dominasi kaum laki-laki atas diri dan ketubuhan perempuan. Ternyata kemudian tidak terjadi sama sekali.
Berbagai upaya yag dilakukan oleh para pejuang hak-hak perempuan, untuk mencoba keluar dari ruang-ruang dominasi nilainilai patriarki tersebut kemudian memang terkadang dirasakan membuahkan hasil yang mungkin bagi beberapa orang adalah perubahan yang baik.
Karena dengan perjuangan perempuan (kaum Feminis) selanjutanya mulai mengubah paradigma sebagian kelompok bahwa ruag hidup para perempuan tidak saja hanya dalam wilayah-wilayah domistik. Akan tetapi juga ada kesempatan ruang yang lebih luas bagi perempuan yaitu di ranah publik. Sehingga kemudian yang kita rasakan saat ini keterlibatan perempuan di ruang-ruang publik semakin luas. Banyak perempuan kita yang sudah dapat berkarir, banyak juga perempuan kita yang dipercaya menjadi pemimpin. Dan ada lebih banyak juga perempuan kita yang menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi pemberian kesempatan tersebut, bukan berati bahwa kaum laki-laki telah pula dengan legowo melepaskan ruang dominasi mereka terhadap kaum perempuan. Rasa nyaman mereka atas nilai-nilai budaya yang selama ini telah memposisikan mereka sebagai manusia nomer satu (the Firts sek). Membuat mereka demikian enggan untuk melepaskan status terebut.
Sehingga yang kemudian terjadi adalah bahwa mereka tetap saja mencari celah untuk tetap mempertahankan nilai-nilai patriarki tersebut, yang kemudian akan tetap di akui sebagai landasan berprilaku, bersikap dan bertindak dalam raung-ruang budaya patriarki itu sendiri.
Lebih lanjut merekapun menyadari, kalau budaya-budaya patriarki dengan format yang selama ini begitu memanjakan mereka, sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena ruang itu sudah di anggap kuno. Dan dengan tetap mempertahankan budaya tersebut, maka itu artinya mereka menyatakan perang terbuka pada setiap perempuan yang ada di muka bumi ini.
Dan oleh karenanya, yang kemudian dilakukan adalah bagaimana mempertahankan nilainya, budaya boleh saja berubah, tata kelakuan, pola interaksi, tekhnologi informasi dan sistem kerja boleh saja berubah. Akan tetapi tidak dengan nilai-nilai patriarki. Orang-orang yang merasa di untungkan dan memiliki kepentingan untuk mempertahankan nilai-nilai ini, kemudian mencoba mengemas nilai-nilai ini dalam ruang-ruang budaya “MODERN” tersebut.
Dan alat yang paling banyak di gunakan untuk merekontruksikan kembali nilai-nilai patriarki tersebut ke dalam ruangruang budaya baru aadalah media massa. Perkembangan media massa yang pada tahun berkembangan pesat di tahun 90-an hingga sekarang, memang sempat dirasakan sebagai ancaman bagi para patriarkal. Akan tetapi mereka kemudian tidak kehilangan akal. Mereka kemudian mulai mendesain produk-produk yang aka mendukung mereka dalam mempertahankan nilai-nilai patriarki tersebut.
Seperti kita amati, berbagai produk media masssa yang memposisikan perempuan sebagai bagian dari proses pencapaian tujuan laki-laki. Bahwa keberadaan perempuan di defenisikan sebagai bagian pendukung dari kesuksesan laki-laki. Dari produk yang bermuatan educatif, persuasif hingga entertaint. Semuanya menawarkan format budaya baru akan tetapi tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai patriarki tersebut.
Kita ketahui kalau di era masyarakat tradisional kita, serangkaian peraturan adat, norma dan dongeng-dongeng yang mereka diceritakan para ibu menjelang tidur anak-anaknya di rasakan sudah cukup untuk membuat perempuan merasa nyaman dengan posisi mereka. Akan mampu mengkungkung perempuan pada tempat dimana mereka kehendaki.  
Akan tetapi tidak lagi dengan kondisi saat ini, perempuan kita telah lebih melek tekhnologi, para ibu rumah tangga saja menghabiskan 2/3 waktunya untuk menonton televisi ataupun mendengarkan radio, di sela-sela aktivitas mereka mengurus dan merawat rumah mereka. Dan oleh karena itu, norma-norma adat kemudian mulai di gantikan dengan produk-produk media massa.  Nilai-nilai tersebut di masukkan menjadi bagian terpenting di dalam iklan-ikla yang di sajikan media massa. Di masukkan di dalam sinetron, film, maupun berita-berita yang di sajikan oleh media massa.
Di dalam berita misalnya, bagaimana media massa mengemas berita-berita kekerasan terhadap perempuan, adalah dikarenakan salah peremuan itu sendiri. Kenapa kemudian kekerasan itu terjadi adalh murni karena kesalahan korban sebagai perempuan. Bagaimana nama-nama perempuan korba perkosaan disamarkan sedemikian rupa, seperti mawar, melati, bahenol, montok dan sebagainya. Pemilihan kata tersebut menyiratkan bahwa kondis perempuan yang cantik, bahenol, montok* dan sebagainyalah yang menyebabkan si lelaki itu merasa harus memperkosanya. Sedangkan untuk laki-laki biasanya di samarka dengan kata-kata “Kanji”, di dalam budaya kita kata-kata itu dianggap sesuatu yang tidak begitu ssalah, karena memang ke “Kanji”an itu lahir dari kebutuha biologis seorang manusia. Dengan kata lain, bahwa laki-laki memperkosa perempuan karena memang salah perempua itu sendiri mengapa cantik, mengapa bahenol, mengapa montok dan mengapa menjadi perempuan. Karena memang perempuan itu adalah alat pemuas kebutuhan laki-laki. Apa dan bagaimanapun caranya.
Contoh lain misalnya, dalam iklan-iklan yang disajikan media massa, baik itu media cetak maupun elektronik. Iklan detergent pembersih misalnya, istri cerdas pakai Daiia. Bagaimana cara mudah menaklukkan perempua, ya pake AXXE. mengapa perempuan harus pake ponds? Hanya untuk mengalihkan dunia laki-laki. Dari ilan-iklan tersebut dapat kita lihat, bahwa apapun yang dilakukan oleh perempuan adalah sebagai upaya untuk memnuhi kebutuhan laki-laki. Bahwa orientasi hidupnya adalah semata-mata untuk menyenangkan laki-laki. Sedangkan kesenangannya tidak menjadi bagian penting yang perlu diperhitungkan sebelum dia mengambil keputusan untuk memilih, atau menggunakan apa di dalam kehidupannya. Selanjutnya laki-laki juga demikian, bahwa setiap aktivitas hidupnya yang terpenting adalah bagaimana caranya bisa menaklukkan perempuan, apakah itu dengan parfum, mobil baru atau lainnya. Yang intinya bahwa apapun yang mereka lakukan di setiap waktu dan kesempatan hidupnya adalah proses untuk menaklukkan perempuan dan mempertahan posisinya pada titik ordinat atas diri seorang perempuan.
Contoh-contoh di atas adalah merupakan bentuk nyata keterlibatan media massa dalam proses melakukan sublimisasi, perubahan bentuk budaya patriarki yang dianggap kuno dan tradisional menjadi budaya dengan format yang lebih modern dan waah.. tanpa kemudian mninggalkan nilai-nilai patriarki tersebut. Sehingga dimanapun adanya, di atas ataupun di bawah, perempuan tetap saja berada dalam ruang dominasinya laki-laki.perempuan masih di aggap sebagai manusia kelas ke dua (the seconds seks) yang melakukan apapun untuk kepentingan kaum laki-laki (the Firts Seks).
 Yang kemudain sangat ita sayangkan adalah bahwa sisem perundangan kita, yang sebenarnya memiliki kuasa dan tanggungjawab penuh untuk menyelesaikan persoal-persoalan semacam itu. Kemudian juga tidak peka (red. pura-pura tidak sadar) akan kondisi ini. sehingga hingga saat ini juga tidak muncul sistem regulasi yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal diatas. Yang jelas-jelas adalah bentuk pelanggaran terhadap asas hidup warga negara yaitu perempuan.
Dan oleh karena itu besar harapan kita agar kemudian pemerintah dapat mendesain dan menerapkan sistem regulasi yang mampu mengatur sistem pelaksanaan pers yang lebih berkeadilan dan sensitif gender.

Bengkulu, 26 Oktober 2011
Rosita Mulya Ningsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

diharapkan komentar yang membangun, tidak mengandung kekerasan berbasis syara' dan gender.