Rabu, 21 Desember 2011

PEREMPUAN DALAM LINGKARAN KUASA MEDIA MASSA


Rosita Mulya Ningsi
22 Desember 2011
Perkembangan dan kemajuan media massa tidak terlepas dari campur tangan dan keterlibatan perempuan. Hanya saja pertanyaannya seperti apakah kemudian perempuan dilibatkan dan ditempatkan dalam proses-proses perkembangan dan pertumbuhan media massa tersebut.
Media massa, apapun jenisnya khalayak sasarannya serta bentuk penyajian pasti tidak bisa lepas dari perempuan. Bahkan dapat dikatakan dimana ada media massa pasti disana ada perempuan. Secara sekilas dapat dilihat bagaimana sebenarnya perempuan menempati tempat tersendiri dalam proses memajukan dunia industri media massa tersebut.
Coba kita amati kembali, media massa jenis apakah yang melibatkan dan menggunakan perempuan, media cetak maupun elektornik. Siapapun pasar sasarannya, pasti memuat perempuan. Majalah anak-anak misalnya, pasti ada iklan untuk perempuan atau iklan yang melibatkan perempuan. Majalah otomotif, sport, apalagi majalah misteri dan majalah laki-laki dewasa, bahkan majalah hewan dan tumbuhanpun tidak lupa menjadikan perempuan sebagai salah satu unggulan isi dari media itu. Entah itu dalam bentuk iklan, artikel ataupun rubrik khusus.
Akan tetapi yang kemudian menjadi persoalan adalah, bahwa penempatan dan keterlibatan perempuan dalam media massa tersebut sarat dengan kekerasan dan dominasi atas diri perempuan itu sendiri. Bagaimana kemudian perempuan justru dilihat sebagai suatu komoditi serta daya dukung utama dalam menaikkan rating media massa, yaitu untuk menaikkan oplah maupun percepatan pencapaian keuntungan melalui iklan yang dititipkan oleh para pemilik modal.
Keberadaan perempuan yang dianggap lebih menjual, membuat media massa kemudian tertarik untuk memanfaatkan perempuan sebagai aset utama untuk mencapai keuntungan dalam proses industri media tersebut.
Pelibatan perempuan sejauh ini, masih dalam rangka eksploitasi atas diri perempuan itu sendiri, ada beberapa bentuk eksploitasi atas perempuan yang sering ditemui dalam media massa, yaitu :
1.      Eksploitasi seksual
2.      Eksploitasi psikologis
3.      Eksploitasi ekonomi
4.      Eksploitasi dalam bidang politik
Eksploitasi seksual, yang berkaitan dengan iklan-iklan ataupun artikel yang berbau sensual. Sehingga tidak jarang kita temukan, di majalah-majalah sport dipenuhi dengan foto-foto perempuan setengah telanjang maupun bugil penuh yang ditampilkan secara eksklusif. Atau juga sering sekali kita temukan di beberapa majalah justur muncul artikel-artikel yang menyudutkan kehidupan seksual perempuan itu sendiri.
Bentuk eksploitasi lainnya yang sering kita temui adalah eksploitasi pada psikologi, bagaimana sering juga kita temui bagaimana media massa mengemas dengan sedemikian rupa proses pembangunan psikologis perempuan yang membuat mereka terus-menerus merasa nyaman berada dalam ruang-ruang dominasi atas para laki-laki. Sebuah proses yang di tujukan untuk mengarahkan prilaku perempuan sehingga bisa melakukan apa saja untuk kepentingan laki-laki. Sebagaimnana misalnya kita sering temui mata acara atau kolom koran yang berisi soal tips-tips bagaimana perempuan harus menyenangkan laki-laki.
Di media lokal misalnya, di radio Swara Unib, radio Kampus yang nota bene mengusung jargon “keep Spirit Of Education” yang seharusnya melakukan proses pencerdasan pada msyarakat dan mahasiswa justru memilih untuk memperparah minimnya daya kritis mahasiswi dan masyarakat dengan mengemas sebuah amta acara yang bertajuk Think Pink, dimana dalam acara tersebut, yang muncul justru adalah tips-tips bagaimana perempuan menjaga kecantikannya, bagaimana perempuan harus berdandan dan sebagainya.
Produk-produk media massa yang seperti inilah yang saya katakan sebagai salah satu bentuk eksploitasi terhadap psikologis perempuan. ada proses penguasaan dan pengarahan prilaku perempuan secara massa di sini. Dimana kemudian perempuan tetap diajarkan untuk bertahan dalam kungkungan dan dominasi kaum laki-laki.
Dan eksploitasi yang lebih besar lagi adalah eksploitasi ekonomi, lebih jauh sesungguhnya kenapa harus perempuan yang dilibatkan. Menurut pengakuan beberapa wartawan media lokal yang sempat berdiskusi dengan saya, juga beberapa tulisan yang saya baca. Bahwa memang perempuan dianggap lebih menjual dan sebuah produk yang mengandung unsur perempuan, apalagi jika di ekspose dengan cara yang lebih sensual dan vulgar, akan mempunyai tempat tersendiri bagi para khalayaknya, dan tentunya akan lebih laris terjual. Dengan demikian artinya oplah/rating media massa mereka akan lebih tinggi. Dan itu juga artinya nilai jual dan nilai tawar media tersebut akan semakin meningkat.
Kita lihat, bahwa secara ekonomi, media massa kemudian memanfaatkan perempuan untuk menjadi alat mempercepat pencapaian keuntungan. Kalau kita pikir ulang, apa hubungannya mobil balap, mengkilap dan mewah dengan para perempuan seksi tanpa busana? Apa pula hubungannya keberadaan gua angker dengan perempuan seksi dengan bikini merah? Dan yang lebih aneh lagi, apa hubungannya belantara hutan dengan ribuan binatang buas dengan perempuan? secara langsung mungkin tidak ada hubungannya sama sekali.
Akan tetapi, justru perempuan-perempuan  cantik dan sensual yang tampilk dengan bikini, atau bahkan tanpa busana ituilah yang membuat majalah itu laku. Yang membuat media massa itu diminati.  Orang beli majalah otomotif, belum tentu mau beli mobil mewah, mobil sport atau apa. Tapi orang justru memilih untuk membeli majalah itu untuk menikmati foto-foto bugil perempuan-perempuan cantik tersebut. Dengan demikian maka jelas bahwa media massa kemudian mengeksploitasi perempuan untuk kepentingan ekonomi.
Lebih jauh, selain bicara jumlah oplah. Maka media massa juga bicara mengenai seberapa luas ruang kuasa yang dia miliki dan akan mampu dia tawarkan kepada pemilikm kepentingan. Oplah inilah yang kemudian akan menjadikan alasan utama mengapa pengiklan baik dalam hal kepentingan politik maupun ekonomi untuk menggunakan suatu media massa atau tidak.
Kalau bicara mengenai hal di atas, maka di sinilah awal mulanya proses eksploitasi perempuan dalam bidang politik oleh media massa. Saya pernah berdialog ringan dengan salah satu wartawan rakyat Bengkulu, dari dialog kecil tersebut daya dapat mengambil sebuah kesimpulan, bahwa eksploitasi seksual, ekonomi, dan psikologis remaja itu sendiri sebenarnya memang disengaja oleh para awak media. Karena hanya dengan cara itulah maka media massa akan di akui. Akan memiliki banyak oplah. Rating menjadi naik, nilai tawar meningkat. Hingga kemudian mamp[u diperhitungkan dalam kancah perpolitikan.
Baik itu kemudian di libatkan secara aktif dalam proses pencapaian kekuasaan atau mungkin sebagai alat pendukung saja. Hanya memang media massa membutuhkan ruang untuk di akui, mendapat kekuasaan untuk mengendalikan mekanisme dan sistem politik. Dan itu hanya dapat dilakukan jika posisi tawar dan nilai jual media memang sudah mencapai titik tertentu. Sekali lagi, perempuan di eksploitasi untuk kepentingan politik media massa itu sendiri.
Saya melihat berbagai fenomena diatas, sebagai sebuah lingkaran, lingakaran kuasa yang dilakukan  media massa atas diri perempuan. Dimana media massa dengan menawarkan popularitas, uang, atau mungkin berbagai iming-iming lain yang lebih gemerlap dan glamour. Telah mengeksploitasi perempuan dari berbagai sisi kehidupan perempuan itu sendiri.
Media massa yang sarat dengan muatan kepentingan baik itu kepentingan dirinya sendiri sebagai sebuah komuditas bisnis, maupun kepentingan pihak luar media untuk kepentingan ekonomi maupun politik.
Kembali lagi, ternyata di manapun. Dalam ruang apapun, perempuan tetap saja di posisikan sebagai objek. Objek atas berbagai kepentingan yang ada di muka bumi ini. Kepemtingan yang sampai kapanpun akan tetap mempertahankan posisi perempuan berada pada titik subordinat atas laki-laki.
Kesimpulan
Perempuan, dalam proses industri media massa menjadi komuditas utama untuk proses memajukan dan mencapai tujuan media massa sebagai industri yaitu mencapai keuntungan.
Lebih jauh, perempuan juga dimanfaatkan dalam berbagai kepentingan ekonomi dan politik. Dan oleh karenanya perempuanterus menerus berada dalam lingkaran kuasa media massa yang berlangsung secara terus menerus, berkelanjutan dan menjadi mata rantai yang tak kunjuung terputuskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

diharapkan komentar yang membangun, tidak mengandung kekerasan berbasis syara' dan gender.