Kamis, 18 Agustus 2011

laki-laki dalam cermin


LAKI-LAKI dalam CERMIN
Seseorang  pernah berkata padaku, jika suatu hari nanti kau bertemu dengan seseorang yang menarik hatimu, dan membuat kau jatuh cinta. Maka detak jam akan melambat, wajahnya akan memancarka cahaya yang berpendar. Dan kau... dan seluruh alammu akan berhenti.
Berhari-hari aku memikirkan kapan hari itu akan tiba. Saat aku benar-benar menemukan bintang yang datang dari kegelapan. Yang tubuhnya akan bersinar... dan membuat duniaku mampu berhenti.
Dan akhirnya... waktu itupun datang...
Pertama kali kumelihatnya dalam sebuah kegiatan yang di adakan di organisasiku.
Aku melihatnya......
dan benar-benar melihatnya.....,
Wajah dan tubuhnya seakan-akan mengeluarkan cahaya yang bersialaun. Hingga tak ada yang dapat kulihat selain dirinya. Ketampanannya menyihirku. Dan membuat duniaku seakan benar-benar berhenti.
Yaaaah karena dia memang tampan. Kulitnya yang sawo matang dan mulus terawat, rambutnya yang dibiarkan panjang dan tetap kribo (karena aku tidak tahu apakah dia pernah mencoba meluruskan rambutnya atau tidak). Hanya beberapa detik. Dan setelahnya semua menjadi biasa. Tak ada yang istimewa, selain sederet ketampanannya yang telah ku uraikan diatas. Sikapnya yang lembut, gentle dan penyabar mungkin cukup sebagai nilai tambah. Dan itu tetap tak berarti apa-apa bagiku.
Tidak ternyata seseorang itu salah....!!!
 Aku tidak dan belum jatuh cinta.
Aaah... kurasa seseorang itu berbohong padaku, tapi dia berkata sesuatu yang lain lagi. Sesuatu yang aku lupa karena hanya kata-kata diawal tadi yang aku ingat. Aku lupa bahwa dia juga mengatakan. Saat kau benar-benar jatuh cinta, kau akan mendengarkan kata-katanya. Menikmati setiap ekspresi yang dia keluarkan.  Tubuhmu akan melemah karena senyumnya, marahmu akan melunak karena sikapnya. Dan tangismua akan reda karena candanya.
Dan kurasa aku ingin kembali menunggu, menunggu orang yag membuatku rela menghabiskan detik-detik hidupku untuk menikmati setiap ekspresi yang muncul dari wajah dan selurh tubuhnya. menggunakan telingaku hanya untuk mendengarkan semua kata yang keluar dari mulutnya, marah, canda, tawa, juga apapun yag mungkin saja akan dia muntahkan dari mulutnya. Dan aku masih tetap menunggu..
Entah sampai kapan...
Dan bahkan akupun lupa sejak kapan aku sudah menemukannya...
Menemukan seseorang seperti itu, seseorang yang bahkan aku lupa moment pertama kali aku bertemu dengannya, aku lupa bagaimana saat pertama kali aku mengenalkan diriku padanya, atau saat dia mengenalkan dirinya padaku, aku lupa dan benar-benar lupa. Tidak ada cahaya yang berbinar saat kehadirannya, tidak ada duniaku yang berhenti saat kehadirannya.
Hanya yang aku tahu dia mengubah apapun yang ada padaku, tidak membuat duniaku berhenti, melainkan membuat duniaku berlari ribuan kali lebih cepat. Membuat tubuhku melesat lebih kuat...
Yang benar-benar aku ingat adalah, dia ada di setiap detikku, menitku, mendominasi jalan pikiran dan tubuhku mengantarkanku pada dunia-dunia yang tak pernah kupikirkan sebelumnya, dan dia membuatku benar-benar menghargai apapun yang dia lontarkan dari mulutnya.
Hanya seorang lelaki tanpa masa depan.. seorang mahasiswa yang baru lulus setelah menghabiskan jatah SKSnya.. berkulit putih, berambut gondrong, rambut yang indah, lembut dan halus.. rambut yang membuatku betah memegang dan memainkannya sesukaku. Yaah hanya seorang lelaki aneh, laki-laki yang hampir menginjak usia matang, meski tanda-tanda kematangan masih sangat jauh. Laki-laki yang akhirnya aku panggil papa.
Laki-laki yang membuat tangisku berhenti, membuat semangatku berkobar dan tak pernah padam. Dan laki-laki yang membuatku mampu menghadapi apapun rintangan yang kutemui. Laki-laki yang memanjakanku, laki-laki yang mengajariku banyak hal dan laki-laki yang memarahiku untuk banyak hal. Laki-laki yang menangis bersamaku, laki-laki yang membagi sebagian miliknya untukku, laki-laki yang memberikan sedikit kesusahannya untukku dan laki-laki tak bermasa depan yang mengajariku melihat masa depan.
Aku akan berusaha sebisaku mengingat apapun yang dia katakan padaku, merekamnya di otakku dan menolak menulisnya di secarik kertas. Karena aku ingin otakkulah yang menyimpannya. Laki-laki yang membuatku bisa melihat diriku sendiri.
Laki-laki yang mengajariku mengatakan TIDAK sekuat yang aku bisa. laki-laki yang memarahiku sesukanya. laki-laki yang memerintahku sesukanya. Dan laki-laki yang menyempatkan dirinya untuk mendengar semua keluh kesahku.
Laki-laki yang menjadi kakakku, ayahku, tepat pada saat ku butuhkan. Laki-laki yang juga menjadi adikku, yang mengizinkan aku memarahinya, laki-laki yang memintaku mendengarkan ceritanya, laki-laki dewasa yang memintaku mebantunya. Hanya seorang laki-laki biasa, pemakai sendal jepit handal, hidup tanpa beban dan mengajariku bagaimana caranya menanggung beban. Laki-laki yang bisa jadi apapun yang aku butuhkan. Akan tetapi juga laki-laki yang menolak dengan tegas saat merasa itu tidak perlu dan berlebihan. Laki-laki yang mengatakan TIDAK persis seperti apa yang dia ajarkan padaku.
Aku pikir, semua selesai.. aku tak perduli soal apa itu masa depan, toh aku telah menemukan orang yang aku tunggu selama ini... aku pikir aku tidak akan menemukan orang yang seperti itu lagi.  Hingga suatu hari semua berubah.
Tapi tidak... bukan itu yang ku inginkan, aku hanya ingin dia tetap menjadi bagian hidupku. Dia tetap ada dalam setiap desah nafasku, menjadi bagian dari jantungku, untuk membantunya memompakan darah keseluruh tubuhku serta membantu paru-paruku menghirup oksigen.
Yaaaah... dia hanya seseorang, seorang laki-laki yang memotivasi hidupku, menjadi sumber setiap stimulus yang muncul di balik ide-ide kreatifku. Hanya itu, tak ada yang begitu berarti. Melebihi dari apa yang aku ceritakan di atas, aku suka setiap kata-katanya saat memotivasiku, aku suka caranya memarahiku, aku suka caranya bercerita kepadaku, aku suka caranya memuji karyaku, aku suka caranya mengkritik pekerjaanku dan aku suka saat dia menyuruhku karena dia menyruhku melakukan sesuatu yang benar-benar aku suka.
Semuanya adalah soal karya, soal aktifitas dan soal mimpiku, mimpiku untuk masa depanku. Tidak ada yang berbeda, tidak ada perasaan yang lain. Dan aku benar-benar yakin bahwa aku tidak jatuh cinta padanya. Berulangkali aku memikirkan dan berharap kemungkinan-kemungkina untuk itu ada, tapi tetap saja, aku mengaguminya, semua yang dia lakukan. Semua yang dia lakukan untuk hidupnya, hidupku dan hidup beberapa orang di sekelilingku. Hanya itu dan kekaguman itulah yang membuatku mempercayainya.
Membuatku ingin seperti dia, dan membuatku melakukan apapun untuk dapat menjadi seperti dia....
Hanya  itu selebihnya dia adalah papaku.. dan tetap menjadi papaku sampai kapanpun....
Dan aku tidak mau seseorangpun mengubah dan menggantikan aku sebagai anaknya...
Kembali lagi seseorang itu berbohong padaku............
Lalu kapan???
Kapan???
Kapan aku akan bertemu dengan seseorang yang membuatku akan merelakan seluruh sisa hiupku untuknya...
Menghabiskan malamku hanya bersamanya..
Dan mengisi siangku hanya untuknya...
Kapan....????
Seseorang itu memang pembohong..... huuuh...
kalau saja aku bisa menggugatmu....
***
Huuufts... akhirnya laki-laki tanpa masa depan itu pergi...
Dia menemukan masa depannya, masa depan yang dia raih dari setiap ketulusannya. Ketulusannya untuk membantuku dan teman-temanku bangkit dan menemukan jalan menuju masa depan.
Papaku pergi...
Tidak akan ada lagi seseorang yang akan memarahi dengan cara yang sangat aku suka, tidak ada lagi orang yang akan mencela karyaku untuk membuatku bertindak dan melakukan yang lebih baik lagi. Papa pergi...
Dia jauh... dan terasa sangat jauh... kalau saja aku boleh memintanya.. seperti beberapa waktu yag lalu.. aku akan menangis dan memintanya jangan pergi..
Tidak, aku tidak akan melakukannya....
Aku tetap menangis, aku menghabiskan 2 atau bahkan 3 malamku untuk menangis, menangis membayangkan  betapa beratnya beban yang aku pikul tanpa dia. Menangis mengingat adik-adikku yang di tinggalkannya. Menangis untuk banyak hal.
Tapi aku tak boleh menangis untuk menahannya... dia pergi... dan benar-benar pergi, bahkan aku tak ingin mengantarnya pergi.. aku tak ingin melihat papaku perlahan-lahan meninggalkanku sendiri.
Aku kehilangan peganganku, semua yang selama ini dapat ku kerjakan dengan mudah karena ada dirinya, kini terasa sangat sulit dan berat.
Sangat berat.... !!!!
Dia jauh... kesibukkannya membuat dia semakin jauh...
Aku menangis...
Menangis untuk meminta dia tidak benar-benar pergi.
***
Aku tak ingin terus menangis, tooh stok airmataku tidak cukup banyakkan...!!!!
Aku ingin membuatnya bangga padaku anak tertuanya, dia harus bangga karena pernah membesarkan aku.  Aku ingin suatu hari nanti dia pulang dan tersenyum bahagia, karena aku bisa menjaga adik-adikku. Adik-adik yang mungkin belum bisa dia besarkan seperti dia membesarkan aku. Aku berlari, mendaki dan melompat setinggi yang aku bisa.
Aku yakin aku bisa, dan aku pasti bisa, dan aku tidak ingin menunda lebih lama lagi.
Entah bagaimana awalnya, hingga tanpa kusadari ada 3 bintang yang muncul dari kegelapan. Bintang yang benar-benar bersinar. Menjadi 3 manusia yag tak kusadari kapan datang dan munculnya, hingga tiba-tiba aku merasa mereka penting.
Sama seperti papa, akupun lupa kapan pertama kali aku menyebutkan namaku pada mereka. Dimana pertama kali aku bertemu mereka. Dan dalam keadaan apa aku saat itu, aku lupa dan benar-benar lupa. Tiba-tiba saja aku menemukan mereka di sisi-sisi kecil hidupku, sisi-sisi yang cukup  kuanggap penting.
Aku bertemu dengan laki-laki dengan perbedaan usia beberapa tahun di atasku tidak banyak bicara, tapi sangat dewasa, mendengarkan apapun yang aku katakan, melakukan apapun yang aku harapkan, menjadi pelindungku, mendengarkan tawaku, mendengarkan tangisku. Seperti apa yang pernah papa lakukan dulu.  Dan juga seperti papa, dia seorang pendengar yang baik. Yah dia seperti kakak. Yah sosok nyata seorang kakak laki-laki yang tak pernah kumiliki.
Dan seorang laki-laki lainnya lagi, laki-laki yang sedikit banyak bicara, alay bin lebay, dan penyuka kartun seperti papa. Laki-laki yang kekanak-kanakan. Laki-laki yang suka sekali bercerita. Apapun itu, membagi apapun pengalamannya padaku. Dan anehnya aku mendengarkan semua ocehannya dengan seksama, meski lebih banyak yang lupanya ketimbang ingatnya, tapi aku suka saja mendengarnya bercerita. Melihatnya begitu bersemangat saat bercerita membuatku bersedia menyediakan telingaku untuk sekedar mendengar. Walau kadang aku sangat tidak mengerti dengan apa yang dia ceritakan. Dia seperti adik bagiku, yah adik... adik yang bawel adik yang kuajak tertawa, berantem, atau tukeran benda apapun yang aku punya. Adik yang bisa mendengarku, dan adik yang sesungguhnya. Wujud nyata dari adik laki-laki yang ku impikan ada setelah che-che adik kandungku.
Dan yang terakhir, hanya laki-laki bertubuh kurus, ceking, tak bermasa depan dan sangat tidak menyenangkan. Aku terkadang bingung apa yang menarik darinya. Terkadang aku benar-benar tak tahu mengapa dia penting.
Yang aku tahu, aku suka caranya mengatakan TIDAK, aku suka saat dia menolak saat aku memintanya melakukan sesuatu.  Ya Aku suka caranya menolak.  Dan saat Dia mengatakan tidak dengan lantang dan tegas seperti papa.
Dan aku suka, aku suka caranya memarahiku, matanya akan membesar. Sedikit kata-kata yang keluar dari mulutnya entah apa itu. Tapi aku suka sekali, caranya marah akan membuatku takut dan terdiam, membuatku memonyongkan beberapa senti bibirku, dan membulatkan kedua pipi tembemku. Hingga mataku yang kecil makin tenggelam. Ekspresi yang sama, ekspresi yang sering kulakukan saat papa memarahiku. Yaaah dan anehnya hanya dengan orang-orang tertentu aku bisa menahan emosiku dan berekspresi seperti itu saat dimarahi. Dan aku suka sekali ekspresi itu. Aku suka kemarahan yang seperti itu. kemarahannya yang langsung berhenti saat melihat ekspresiku atau karena apa? yang jelas kemarahan itu tidak meledak-ledak seperti kebanyakan laki-laki yang ku kenal.
Kemarahan yang membuatku berani untuk mengakui diriku sendiri, kemarahan yang membuatku berani untuk melihat kedalam diriku dan belajar melakukan segala sesuatunya lebih baik lagi. Dan aku bingung untuk yang terakhir, aku akan menyebut dia apa?
Aku tidak berpikir bahwa dia layak menjadi kakakku, adikku, papaku, atau laki-laki yang kukagumi karena ketampananya. Karena keahliannya yang ku suka Cuma kemarahannya.  Apa aku sudah gila.. menyukai seseorang Cuma untuk dimarahi.
Apalagi menghabiskan malamku dengannya hanya untuk dimarahi...,
Atau mengisi siangku untuk dimarahi olehnya....,
Yaaaa enggaklah...
Terus apa dong...????
Tau’ Gw ajha bingung....,
Tapi aku rasa seseorang itu benar-benar bohong...
Aku rasa tidak begitu rasanya jatuh cinta.....
Jangan-jangan dia juga bohong saat mengatakan bahwa perasaan itulah yang dia rasakan saat bertemu ABAHku*
Entahlah.. apakah ibuku benar-benar bohong atau tidak... hanya saja pencarianku belum selesai.. aku masih menunggu... menunggu untuk membuktikan kata-katanya. Menunggu untuk menemukan seseorang yang mengalihkan duniaku!!!!
Kamarku, 13 Agustus 2011
03:11 Wib














SAAT SIANG benderang  SEBAGIAN lain dari bumi TERSELUBUNG GELAP
Seseorang itu kembali menipuku, pada suatu siang.. saat aku dipaksanya ikut ke kekebunnya untuk memetik sayuran. Dan aku mengeluhkan cahaya matahari yang terlalu panas menyengat kulitku dia berkata “ tahukah kau??? Saat matahari membakarmu dengan cahaya... sebagian dari bumi ini bahkan terselubung gelap dan tak ada cahaya”.
Dan bodohnya aku, kembali percaya bualannya yang konyol itu. Seseorang yang membuatku ingin menuntutnya. Kalau saja aku tak menemukan bukti bahwa apa yang dia katakan itu benar.
***
Sudah hampir 2 minggu aku beraktifitas disini, setiap hari sepulang kuliah kerjaanku adalah nongkrong di kantor kecil tapi sejuk ini. Yaah aku diterima sebagai staff database di sebuah lembaga yang menamakan dirinya Cahaya Perempuan Women Crisis Centre (CP-WCC). Sebuah lembaga yang bergerak di bidang penangan perempuan dan anak korban kekerasan di Propinsi Bengkulu. Cukup senang juga bisa ikut berpartisipasi di sini. Meski yaaah pekerjaanku sangat mebosankan. Setiap hari kerjaanku Cuma nongkrongin komputer, membolak-balik puluhan bahkan ratusan lembar kertas dan mengetiknya untuk kemudian disimpan di komputer.
Yaaah pekerjaan yang sangat membosankan bukan, mengingat aku adalah seorang focal point sebelumnya. Seorang yang memang hobinya jalan-jalan. Melakukan apa saja yang aku bisa bersama banyak orang di luar sana. Dan tentunya aktifitas kegemaranku adalah mengamati setiap individu yang aku temui. Bukan kertas-kertas lecek yang bahkan bicara saja tidak bisa seperti ini.
Benar-benar menyebalkan....!!!!!
Tapi kertas-kertas lecek itu mengingatkanku pada kata-kata ibuku, ada dunia yang gelap di balik duniamu yang terang. Dari dokumentasi dan pencatatan pendampingan yang dilakukan teman-teman pendamping CP-WCC aku tahu, hampir setiap hari seorang istri mengalami penganiayaan dari suaminya sendiri. Aku membaca, dan mengetiknya kembali, ada seorang istri yang di siram air panas oleh suaminya sendiri, ada seorang istri yang diperkosa oleh suaminya sendiri. Dan ada seorang istri yang ditendang, di pukul, diinjak, dibenturkan ke dindig bahkan di setrika seperti pakaian oleh suaminya sendiri.
Dan  dengan entengnya suaminya mengatakan, saya khilaf, saya terbakar emosi. Sementara istrinya menderita lupa ingatan, bekas luka, dan rasa sakit serta ketakutan yang berkepanjangan. Tidak tahu harus mengadu kemana dan dimana akan mencari perlindungan. Tidak ada cahaya dan dunia benar-benar gelap.
Sementara tangannya menggapai-gapai mencoba mencari pegangan, tangan dan kakinya digayuti tangan-tangan kecil yang menangis, meronta dan memohon perlindungan padanya. Tangan-tangan kecil anak-anaknya. Membuat dia semakin tak kuat untuk berjalan dan menemukan pegangan yang akan membantunya berjalan dalam gelap. Dan kemudian melangkah perlahan-lahan untuk keluar. Untuk menemukan cahaya kecil yang akan mengantarnya keluar dari kegelapan.
Tidak dia tidak mampu melakukan itu, tenaganya belum cukup untuk membimbing tangan-tangan kecil itu melangkah bersamanya. Dan tinggallah ia, bersama jiwa-jiwa mungil itu terdampar dalam gelap. Gelap yang bahkan tak diterangi cahaya bintang dan bulan sabit. Gelap dan benar-benar gelap tanpa tahu kapan fajar akan menyinsing.
Aku ingat suatu malam, di saat keheningan menyesak desa kecilku, raungan tangis memenuhi seluruh sudut kebun di sekitar rumahku. Masih terdengar suara rotan yang dibelah empat itu menghantam tubuh ibuku. Rotan yang biasa di gunakan Abahku untuk memukul lantai dan mengejutkan kami semua saat belajar ngaji. Kini tengah melecuti punggung ibuku. Punggung yang menghitam karena terbakar matahari. Punggung yang kini mulai melebam dan berwarna ungu. Punggung yang membungkuk mencoba melindungi  dan menghalangi laju rotan mengenai tubuh kami.
Punggung yang tetap bersikukuh untuk melindungi aku dan adikku dari kemarahan abah yang meledak-ledak. Sebagai akibat emosi abah yang sulit sekali dikendalikannya. Tidak.. dia bahkan tidak merintih kesakitan. Tangannya kukuh memeluk kedua tubuh kami. Hingga lecutan rotan itu berhenti dengan sendirinya. Dan dia membantu kami untuk berdiri dan menghapus airmata kami.
Tidak, dia bahkan tidak meneteskan setetes beningpun... dia kokoh.. bahkan terlalu kokoh. Seakan mengatakan pada kami, yang kau saksikan malam ini belum seberapa anakku. Ada banyak nak, ada banyak catatan hitam yang aku miliki.
catatan hitam yang aku tak ingin juga kalian tuliskan di catatan hidup kalian anak-anakku. Ini belum seberapa. Dan hal ini tidak cukup menyakitkan untuk membuatku menangis.
Emaaak... mengapa kau tidak menangis.. setidaknya dengan begitu aku tahu seberapa sakitnya punggungmu.
***
Ketahuilah setiap manusia hidup pada dunianya masing-masing. Hidup dalam dimensi dan ruang yang berbeda. Meski kadang ada motif-motif serupa yang menghiasi  kehidupan seseorang. Tapi tetap saja seseorang harus menemukan sendiri caranya untuk tetap bertahan dan kuat melebihi hidup itu sendiri.
Emakku, perempuan sederhana yang jarang sekali menangis, perempuan desa yang sangat bersahaja. Perempuan tradisional yang legowo tapi berkemauan keras. Perempuan desa yang manut tapi tidak menggadaikan hidupnya pada kehidupan. Dan perempuan desa yang berdiri dalam tidurnya. Melawan dalam pasrahnya dan bangkit dalam jatuhnya.
Dilahirkan sebagai anak tertua dari 5 bersaudara dan semuanya perempuan membuat ibuku menjadi perempuan desa yang sulit. Meskipun harta orangtuanya cukup banyak. Dan cukup berilmu sesuai dengan standar masa itu. Tidak kemudian membuat ibuku di hargai dengan sebagaimana mestinya.
Lahir di keluarga tanpa saudara laki-laki adalah keadaan tersulit dalam hidupnya, pernah suatu ketika rumah besar orangtuanya dilempari dengan bola-bola lumpur, di lecehkan secara seksual dan berbagai tindakan lainnya. Yang membuat ibuku menjadi kuat dan kokoh. Tapi tetap saja ibuku adalah perempuan desa. Yang hidup dalam dunianya. Melawan dengan caranya, dan mengatur hidup dengan caranya.
Pernikahannya yang kemudian melahirkan 4 anak perempuan (sebelum kelahiranku dan adikku) kemudian memperpanjang derita dan tangis ibuku. Ayahku, yang merasa lemah, terhina dan tak berharga di mata masyarakat desa menumpahkan kemarahan dan kekesalannya kepada ibuku. Ini semua terjadi karena kesalahan ibuku yang tidak mampu memberikan seorang anak laki-lakipun padanya.
Tapi ibuku adalah perempuan desa yang berbeda dari perempuan desa lainnya, dia adalah perempuan yang kuat bahkan jauh melebihi hidup itu sendiri. Saat otot-ototnya mengering dan mulai berubah menjadi kulit yang mengeriput membungkus tulangnya. Saat  tak ada yang mau mendengarkannya. Ibuku mendengarkan suara hatinya sendiri. Dia membiarkan kulitnya menghitam terpanggang matahari, membiarkan bajunya robek oleh panas dan hujan. Hanya satu yang dia dengarkan, suara hatinya, suara hatinya yang berontak untuk tetap menjadikan anak-anaknya bintang yang bersinar. Bintang yang akan mengajaknya bersama-sama keluar dari ruang gelap yang mencengkeramnya.
Suara hatinya, yang terus berkata, anakku memang tidak memiliki penis seperti anak-anak yang mereka sebut laki-laki itu. Tapi anak-anakku akan menjadi lebih kokoh, kuat dan tangguh dari mereka.
Ibuku, dia punya dimensi ruang dan waktu yang berbeda, cara menghadapi hidup yang berbeda. Dan itulah ibuku perempuan masa lalu yang mencoba mengurai catatan hitam hidupnya. Catatan hitam yang juga aku baca di berkas-berkas lecek dikantorku.
Kertas-kertas yang disetiap lembarnya membuatku tak kuasa membendung air mataku sendiri. Hingga terkadang aku terpaksa berontak dan menggigit bantalku untuk menahan jerit ketakutanku. Ketakutan akan kenangan buruk dari catatan hitam yang juga tak pernah aku harapkan. Catatan hitam yang sama seperti yang di alami oleh saudara-saudaraku di lembaran-lebaran kertas buram yang setiap hari aku baca.
Catatan hitam akibat ulah dan kekejaman dari makhluk yang sama, yaitu laki-laki.
***
Aku tersentak... kembali keringat dingin mebanjiri tubuhku, aku meringkuk di atas kasur busa yang kugelar di atas lantai tanpa dipan. Tanganku meremasi ujung bajuku. Terengah-engah aku mencoba membuka mataku. Gigiku menggigit ujung batal. Keringatku makin membanjir. Mimpi buruk itu datang lagi, setelah sekian tahun kini makin kerap menghantui malamku.
Aku terisak, di tengah sepinya kantorku. Tengah malam pekat yang benar-benar pekat. (Sejak sebulan yang lalu aku memutuskan untuk tinggal di kantorku). Terpapar dengan jelas dimataku, kejadian-kejadian menyakitkan itu. Aku semakin terisak dan menutup teriakan dan tangisanku dengan bantal.
Aku hanyalah gadis kecil kelas 1 SMP, gadis kecil yang rindu kampung halamannya. Rindu kerbau-kerbau yang kutunggangi hingga ke padang rumput dan gadis kelas 1 SMP yang bahkan belum tahu bagaimana rasanya menstruasi. Ku tambatkan ketiga induk kerbauku sembarangan di pepohonan semak yag merimbun di sawah tempat dimana aku akan menggembala kerbauku hari itu.
Pekerjaan rutin yang paling aku sukai sejak aku SD dulu, dan sekarang setelah 3 bulan melanjutkan sekolahku di salah satu SMP di kota. Aku mengisi liburan caturwulanku dengan kegiatan itu kembali. Aku bahagia sekali, aku berhasil meraih rangking 3 di sekolahku. Prestasi yang sangat membanggakan untuk seorang anak desa yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya.
Sambil berlari-lari dan bernyanyi-nyanyi kecil aku menuju gundukan tanah yang menyerupai bukit kecil di pinggir sawah. Aku mulai bermain, dengan parang yang tadi aku bawa dari rumah aku mulai memotong-motong ranting kecil-kecil sesukaku. Aku sendiri tidak tahu akan ku jadikan apa ranting itu. Yang aku tahu aku hanya ingin mengisi waktuku sambil menunggu kerbauku makan.
Beberapa saat, kemudian aku lihat DD anak laki-laki adik ibuku, atau biasa disebut sepupu lewat untuk pergi ke sawahnya yang berada di seberang sawah tempatku menggembala. Tanpa curiga aku menegurnya, sekedar beramah tamah saja. Karena aku memang tak pernah dekat dengannya. Akupun melanjutkan pekerjaanku.
Tidak berapa lama, aku terkejut, karena tiba-tiba DD sudah berdiri tidak jauh dari tempatku. Kerbau-kerbauku langsung mendengus gelisah. Entah pesan apa yang ingin mereka sampaikan. Aku tak mengerti. Tapi karena dia sepupuku aku pikir biasa saja. Tooh tanah diatas sawah itu juga milik orangtuanya.
Mau kemana? Tanyaku tanpa curiga, mau lihat durian jatuh jawabnya (memang waktu itu musim durian). Ooh.. kataku cuek dan melanjutkan pekerjaanku memotong-motong ranting. Sekilas aku lihat dia mengamatiku, tapi aku cuek saja.
Boleh pinjam parangnya, katanya sambil duduk di sebatang pohon yang telah tumbang tidak jauh dariku.
Untuk apa? tanyaku curiga...
Yaah pinjam ajha...
Aku pun memberikannya, kemudian dia menancapkan parang itu di pohon yang di dudukinya. Kemudian dia berdiri.
Aku nengok durian dulu... katanya
Aku mengiyakan.
Tapi tiba-tiba dia sudah berdiri di depanku mencengkram bahuku dan membuah aku rebah ketanah. Untung saja kakiku terlipat di depan dada. Kerbau-kerbauku berontak. Sesaat aku bingung, lemah tak tau harus apa. mukanya semakin dekat padaku. Entah aku dapat kekuatan dari mana. Kakiku yang tadi tertekuk menendang selangkangannya hingga dia tersungkur kebelakang dan aku langsung berdiri dan berlari mengambil parangku. Ku acungkan parangku padanya. Dan sepertinya dia takut. Dan beranjak pergi. Tapi kemudian kembali lagi. Aku kembali mengangkat pisauku dia hanya berkata mengancamku “jangan sampai beritahu siapa-siapa.
Sungguh sulit sekali perasaanku pada saat menuliskan ini semua, tubuhku gemetar, dan keringat dingin membanjiri tubuhku di tengah subuh ini. Tapi aku tahu perasaan ini tidak seberapa, dibanding ketakutanku pada saat itu. Aku ingin segera berlari pulang dan  meninggalkan kerbau-kerbauku kalau saja abahku tidak segera muncul untuk menjemputku dan kerbau-kerbau.
Walaupun saat itu aku tidak menangis, tapi aku masih tidak berani membayangkan rasa takut itu lagi.
Aku bergegas berlari ke rumah setelah menambatkan kerbauku sebisanya dikandangnya. Kutinggalkan abahku tanpa permisi. Setibanya di rumah kakak keduaku yang melihat mukaku yang pucat itu bertanya, aku diam saja, masih terbayang dengan jelas kejadian itu. Itu menyakitiku. Tidak secara fisik tidak sama sekali, tapi hatiku, jiwaku. Dan entahlah apalagi. Tapi kurasa seluruh tubuhku. Aku takut, benar-benar takut. Terbata-bata aku menceritakan semuanya kepadanya dia langsung naik pitam. Tak lama kakak ketigakupun pulang. Mendengar hal tersebut dia langsung mendatangi DD ke sawahnya. Aku tak tahu apa yag terjadi di sana selanjutnya. Hanya yang aku tahu 2 malam setelah itu DD bersama orangtuanya datang ke rumahku.
Aku diminta bertemu dengannya, aku tidak tahu harus berkata apa, aku takut, tapi aku tidak tahu harus bagaimana mengatakan tidak. Bagaimana caranya aku mengatakan bahwa aku tidak mau. Aku tidak mengerti. Hingga aku bertemu dengannya. Ibunya yang ad memberikan adik ibuku itu memberikan sebuah cangkir yang belakang ku tahu bahwa itu setepung setawar.
Dia meminta maaf, aku mendengar suaranya, aku menggigil. Tapi aku tak tahu harus bagaimana mengatakannya. Aku benar-benar takut, aku tidak begitu mendengar apa yang dia katakan kecuali satu kata yang semakin menyakitiku yaitu KHILAF.  Aku hanya mengangguk tak mengerti. Hatiku pedih dan teriris, kemudian semuanya selesai bagi mereka. Ke esokan harinya aku langsung dibawa kembali ke kota. Masalah selesai.
Hanya dengan kata KHILAF??? Lalu bagaimana denganku... sakitku, marahku, sedihku, perihku apakah itu adalah sebuah kekhilafan. Benar tidak ada sedikitpun bagian tubuhku yang terluka bahkan tergorespun tidak. Tapi tidak di tubuhku. Tapi di jiwaku.
Di jiwa gadis kelas satu SMP. Gadis yang baru saja memulai kehidupan barunya. Gadis yang kemudian menjalani hidup sendiri jauh dari orangtuanya. Jiwaku yang sakit. Dan jiwaku yang terluka. Dan luka itu jauh lebih dalam  dari sedalam apapun luka di fisikku. Lebih perih dari luka yang disiram cuka atau air garam. Dan lebih sakit dari tulang yang patah di timpa pohon. Sakit itu, sakit itu yang tidak selesai dengan hanya secangkir setepung setawar. Butuh waktu lama bagiku. Ratusan bahkan ribuan hari harus aku korbankan tanpa  mimpi burukku. Apakah luka itu adalah sebuah ke khilafan??
****
Aku kembali membaca berkas-berkas dokumentasi pencatatan CP-WCC, seorang anak 2 tahun di perkosa oleh ayahnya sendiri. Aku menangis, ruang kantor yang sepi karena teman-temanku lagi pada pendampingan keluar menjadi penuh oleh isakku. Aku tahu ibuku semakin benar, bahwa di balik bumiku dan bumi ibuku yang terang sekarang ada bumi yang terselubung gelap tak bercahaya. Dan aku merasa semuanya benar-benar gelap. Aku berteriak-teriak tapi tak ada yang mendengarku. Hingga aku melihat tangan ibuku menggapaiku. Dan perlahan-lahan cahaya itu datang, membesar dan semakin lebar hingga menerangi gelap yang tadi membungkamku.
Ocha..ocha, terdengar pelan suara ni tety managerku. Aku menoleh ke kiri dan kananku.. kamu pingsan barusan. Salah seorang staff kantorku mencoba menjelaskan tanpa kuminta.
Kamarku, 13 Agustus 2011
05:36 Wib
(terimakasih untuk teman-teman CP-WCC yang sudah mengangkat tubuh pingsanku ke kamar)















Kerikil-kerikil dari surga
Aku terdiam, tersudut dalam ruang gelap yang masih saja setia ku genggam, aku tahu ini tak layak tapi aku tak tahu bagaimana aku harus melepasnya. Sulit dan begitu berat... gelap itu justru mengikat dan membelenggu jemariku membuatnya turut enghitam. Dan aku menangis. Setelah kejadian itu, kejadian di padang gembalaan itu. Aku tak tahu... kemana aku harus berlari. Aku menangis mengingat secangkir tepung setawar yang bahkan aku tak tahu apa gunanya.
Sungguh, aku benar-benar tak tahu. Bahkan aku tak pernah tahu seperti apa isiya. Hanya saja setiap mengingatnya aku menjadi pedih dan teriris. Bahkan saat airmataku mengering pedih itu masih saja sama.
Sekarang tidak ada lagi aku yang juara kelas, beberapa menit yang lalau guru BK memanggilku. Aku bolos lagi. Aku muak mendengarnya mengomel hampir 2 jam di ruagan BK yang pengap itu. Apalagi haris menyaksikan lipstiknya yang merah memuakkan itu. Sekali-kali dia menyebutkan soal anaknya dan apalah dan tak ada satu katapun yang aku ingat.
Aku tak benar-benar ingin ke sekolah, entah apa yang aku pikirkan. Aku hanya merasa malu, aku hanya merasa palsu. Saat teman-temanku bertanya kepadaku tentang soal-soal yang tidak mereka mengerti aku semakin teriris. Aku bisa menolong beberapa orang temanku dalam beberapa menit saja. Tapi mengapa aku tidak bisa menolong diriku sendiri. Sebegitu lemahkah aku.
Aku bisa menyampaikan pidato yang begitu bagus di depan kelas sehingga membuat teman-teman dan guruku bertepuk tangan dan takjub mendengar isi pidato dan cara penyampaianku. Aku bisa berdebat dan bersilat lidah menyangkal setiap sanggahan teman-temanku yang mencoba menjatuhkan argumenku. Setiap mereka bertepuk tangan, tersenyum dan mengatakan apapun kata-kata yang seharusnya membuatku senang. Aku ustru semakin terluka dan merasa sakit.
Aku... bisa membantah setiap argumen yang mereka sertai dengan analisa yang tajam dengan analisaku yang bahkan jauh lebik tajam dan menggigit. Tapi mengapa aku tidak berani hanya sekedar mengatakan.
Segampang itu kau mengatakan “AKU KHILAF”  dan semua selesai. Aku ingin sekali melontarkan semua kata-kata yang aku simpan di benakku. Cacian makian dan serangkaian luapan kemarahanku yang hanya bisa aku luapkan sambil merentangkan tanganku atau berlutut di pasir pantai yang basah di pantai panjang dekat sekolahku.
Di balik lebatnya hutan cemara laut. Aku bisa berteriak sesukaku, memaki sepuasku dan ini lebih menyenangkan dibanding berada di sekolah. Sekolah yang semakin hari semakin membuatku menjadi palsu. Aku merasa jauh lebih nyaman di sini. Di sudut kamarku atau lebih sering bersembunyi di dalam lemari kain tempat pakaianku. Ini jauh lebih menyenangkan. Setidaknya aku puas merutuki diriku sendiri.
Dan walhasil setelah lebih dari 2 minggu tidak sekolah. Di sinilah aku sekarang, terdampar di ruang BK yang memuakkan ini. Aku bersumpah takkan pernah menginjakkan kakiku ke ruang seperti ini atau yang serupa ini dimanapun nanti bila mungkin aku menemukannya lagi.
Guru Bkku yang gendut dan terkenal galak itu masih mengeluarkan kata-kata mutiaranya yang bahkan satu katapun tak aku mengeti itu. Aku hanya tertunduk dan memegang ujung bajuku. Aku hampir saja tertidur ketika tiba-tiba dia menegaskan. Mengerti. Sontak aku mengangguk berharap dia benar-benar mengakhiri ceramah. Benar saja. Dan alhamdulillah aku di skor 1 minggu. Ini namanya rejeki nomplok pikirku.
Kebanggaan orangtuaku hilang sudah, walaupun sebenarnya nilai akademikku tidak begitu turun akan tetapi nilai kehadiran dan sikapku membuat aku kehilangan rangkingku. Bahkan tidak dikelasku. Aku sieh cuek saja. Karena aku jauh lebih nyaman seperti ini. Setidaknya teman-temanku sudah mulai lupa untuk bertanya padaku. Dan karena sering absen aku juga jarang ikut kegiatan debat kelas atau pidato yang biasanya sangat enggan ku tinggalkan.
Tapi berbeda dengan orangtuaku, mereka jadi kebakaran jenggot. Mereka jadi sering dipanggil ke sekolahku dan banyak lagi keluhan mereka terutama kakakku yang nomer 3. Dia kakak lajang tertuaku sekarang. Karena kakak pertama dan keduaku telah menikah. Tempramennya yang keras dan mewarisi hampir 90% sifat abah membuatnya menjadi ringan tangan. Seringkali dia memergoki aku sedang tidak sekolah atau sedang keluyuran saat dia tiba-tiba datang dari desa untuk menjengukku.
Hingga tak kerap dia memukulku, meninjuku, menendangku dan banyak lagi. Aku diam saja, aku tidak perduli. Kadang-kadang ibuku datang dengan lembut dia menasehatiku untuk berubah. Tapi hanya beberapa detik saja aku ingat kata-katanya setelahnya aku bahkan tak ingat kalau aku pernah ngobrol dengannya. Untuk berubah.
Aku merasa tidak ada yang salah dengan diriku, jadi tidak ada yang perlu di rubah. Ini adalah aku. Dan aku nyaman seperti ini. Tetangga-tetanggaku yang notabene adalah familyku karena berasal dari kampung juga tak ketinggalan ambil bagian menasehatiku. Tapi hanya aku balas dengan gendikan bahu. Sho what????
Pernah suatu ketika, kakakku benar-benar naik pitam. Melihat rumah yang terurus. Karena setiap aku bepergian untuk sekedar jalan-jalan atau bahkan menginap di rumah temanku aku lebih sering lupa mengunci pintu sehingga beberapa perabot rumahku malah di jadikan anak-anak sekitar rumahku sebagai mainannya. Aku sieh tidak perduli toh mereka senag melakukannya. Selagi mereka tidak menggangguku apa perduliku dengan barang-barang itu. Ketika di tanya, aku hanya menggendikkan bahu dan berpura-pura memunguti barang-barang itu.
Rupanya sikapku membuat darah kakakku makin menggelegak, tubuhku dipukuli, ditendang, ditinju dan banyak lagi. Aku mencoba melawan tapi aku masih SMP waktu itu masih kalah kuat. Rupanya dia kurang puas menyiksaku hanya dengan menggunakan tangan dan kaki kosongnya. Dia meraih besi kerangka lemari kain yang sudah lepas karena sering kujadikan tempat sembunyi. Aku tak tau sudah berapa kali dia menghantamkan besi itu ke tubuhku. Hingga kemudian ku lihat dia menjadi lelah sendiri menganiayaku dan duduk di ruang tamu. Aku tidak perduli. Hingga kurasakan ada sesuatu yang hangat mengalir dileherku aku merabanya dan ternyata ada cairan merah darah mengalir dari kepalaku yang terluka akibat pukulan kerangka besi tersebut.
Tanpa bersuara aku mengambil baju dari dalam lemari masuk kekamar mandi dan mengganti bajuku, kemudian aku menyelinap lewat pintu belakang dan menginap di rumahku hingga 3 hari. Dari temanku aku tahu dia mencariku kemana-mana. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak peduli siapapun itu. Aku ada di sini dan nyaman dengan semua yang ada pada diriku. Bukan apa yag ada pada dirimu dan apa yang kamu pikirkan.
Aku tak pulang-pulang ke rumah sampai ku pastikan bahwa dia telah kembali ke desa.
***
Entah mengapa terkadang aku merasa waktu itu berlalu begitu lambaaan... sehingga aku selalu saja ketakutan, aku takut saat malam tak kunjung berakhir. Aku takut untuk tertidur, karena aku tahu aku pasti akan terbangun dan mimpi buruk itu akan ikut serta hingga siang menjelang atau bahkan hingga esok siangnya. Dan oleh karenanya aku putuskan untuk tidak tidur saja, atau aku akan tertidur setelah jam menunjukkan pukul 2 atau pukul 3 pagi dengan begitu aku tidak perlu takut terbangun tengah malam. Paling juga aku akan terbangun jam 8 atau jam 9 dan pada jam-jam segitu biasanya matahari telah tinggi dan kamarku telah terang benderang. Aku tidak perlu takut pada apapun lagi.
Tapi sekarang rasanya waktu berlalu cepat sekali tidak terasa sisa 2 tahun smpku selesai. Alhamdulillah meski anak tergolong anak badung aku lulus. Lulus dengan nilai memuaskan, kalau melihat usahaku. Dan tanpa harus keliling kesana dan kemari aku di terima di salah satu SMA yang cukup Favorit di kotaku. Orangtuaku kelihatannya cukup bangga waktu itu. Sepertinya kekecewaan mereka terobati. Aku tidak peduli soal itu. Karena aku memang tidak ingin siapapun bangga padaku.
Tapi rupanya kebanggaan orangtuaku tidak berlangsung lama, sekolah baru bukan berarti aku juga baru. Yah aku tetap saja diriku yang lama. Badung, bertindak sesukaku. Bahkan terkadang aku memang sengaja melakukan tindakan yag akan membuat sekolah marah kepadaku. Hingga aku terlibat 2 kasus besar yang aku sendiri gak ngerti ngapain aku ngelakuin itu aku sama sekali bukan perokok. Tapi entah kenapa ketika suatu ketika ada praktek yang mengambil jam sepulang sekolah aku malah membawa rokok ke sekolah.
Padahal demi tuhan aku bukan perokok, aku bahka tidak tahu bagaimana rasanya merokok. Salah satu temanku mengadukanku ke wali kelasku. Dan walhasil keesoka harinya aku dipanggil ke ruang guru. Dan di sana di depan semua orang aku dipaksa merokok 4 batang sekaligus. Dan jujur itulah kala pertama aku merasakan rokok yang sesungguhnya. Guru-guruku menyorakiku. Beberapa teman malah di undang langsung untuk menonontonku yang tengan menangis karena mataku kepedihan terkena asap roko. Sebagian cowok-cowok berteriak-teriak menyorakiku. Dan beberapa lagi mencibir ke arahku. Sama seperti biasa tidak ada penyelesaian dan aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya antara orangtua dan guruku hanya yang aku tahu 2 hari kemudian aku di bawa pulang ke desaku. Tempat yang sebenarnya tak ingin kudatangi lagi. Dan disana aku baru membaca surat drop outku.
Aku benar-benar tidak peduli, silahkan saja. Aku juga tidak memikirkan untuk sekolah lagi. Hanya saja aku benar-benar takut berada di sini lebih lama lagi. Hingga aku sering melamun dan memikirkan untuk segera pergi dari sini.
Melihat keadaanku yang demikian itu, rupanya orangtuaku berpikiran bahwa aku ingin sekolah lagi. Jujur sebenarnya aku masih ingin sekali menjadi penyiar seperti cita-citaku waktu SD dulu. Tapi aku tidak berani lagi bercita-cita. Aku malu entah malu pada siapa.
Hingga kemudian pada suatu hari abah bertanya,
kamu masih ingin sekolah?
Aku jawab ia.
Kalau begitu kamu pindah sekolah.
Ia jawabku.
Ya sudah kalau begitu kamu besok balik kebengkulu. Dan dengan diantar kakak tertuaku jadilah akhirnya aku pindah ke salah satu sekolah berbasis agama di kota itu.
Aku mencoba berubah, mencoba untuk menekuni setiap pelajaran dan aku benar-benar ingin mencoba memperbaiki diriku. Aku ingin suatu hari nanti aku akan berada jauh di atas DD dan keluarganya. Aku belajar lagi.
Saat ujian semester akhir datang setelah 3 bulan aku sekolah di sana. Alhamdulillah hasilnya sangat bagus. Tidak ada satu mata pelajaranpun yang remedial. Aku ingat betul waktu itu. Teman-teman kelas barukupun salut  pada waktu itu. Karena mereka yang sudah lama saja banyak sekali remedialnya. Aku tidak satupun.
Aku sudah begitu yakin bahwa aku pasti naik kelas. Hingga 2 hari menjelang pembagian raport aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. Dan dia menanyakan semua tentang permasalahanku di sekolah baruku dulu. Aku tidak menjawab apa-apa juga tidak menjelaskan apa pun. Dan hasilnya aku tidak naik kelas.
Aku kembali hancur, aku menangis, aku bingung aku kembali takut untuk kembali pulang kerumah. Mantan juara kelas. Anak desa terpencil yang bisa mengalahkan anak-anak kota dalam waktu 3 bulan kini tidak naik kelas. Aku bingung sangat bingung.
Aku titipkan raportku ke kost temenku, sambil juga meminjam bajunya aku pergi naik angkot. Tidak tahu mau kemana, aku hanya merasa ingin pergi meski aku sendiri tidak tahu kemana aku harus pergi. Saat aku di angkot seorang mbak-mabk yang aku kira-kira usianya 17 atau 18 tahunan menyapaku:
Mau kemana dek???
Hee.. gak ada mbak...
Loh kok gitu?
Ia mau keliling-keliling ajh mbak gak jelas...
Ya sudah ikut mbak ajha..
Kemana mbak?
Kepantai.. duduk-duduk di warung mbak. Terus kalo mau ntar malam ikut mbak jalan-jalan ajha
Kemana mbak?
Adalah jalan-jalan biasa.. refreshing.. kayaknya adek lagi suntuk ini.
Entah kenapa aku mengikuti saja ketika dia mengajakku kewarung temannya di pantai. Disana aku bertemu dan di kenalkan dengan teman laki-lakinya.  Tidak berapa lama mereka terlihat obrolan yang sangat serius. Sekali-sekali mereka melirik ke arahku. Entah apa yang mendorongku untuk secepatnya pergi. Sehingga tanpa permis aku langsung berlari ke arah jalan raya. Teriakan mereka yang mencoba memanggilku tak pernah ku gubriskan. Aku mau secepatnya pergi dari sana. Hingga akhirnya aku putuskan untuk pulang dan menerima apapun yang terjadi.
Di luar dugaanku, emak dan abahku menerima keadaan itu dengan lapang dada. Hanya kakakku saja yang masih sedikit mengomel tapi entah kenapa kemudian diam dengan sendirinya. Dan akhirnya aku memulai semuanya dari awal lagi. Bertemu dengan teman-teman baruku. Tidak di kelas unggul sebagaimana dulu aku diletakan bahkan mungkin di kelas yang terbobrok. Tapi justru di sini aku menemukan tempatku yang benar-benar nyaman.
Mereka tidak pernah mempermasalahkan apapun yang mereka ketahui tentang aku bahkan ketika salah seorang yang mungkin karena penasaran mencoba bertanya padaku. Justru teman yang lainnya mengubah toipik pembicaraan. Dan kondisi ini membuat kepercayaan diriku nyaman dan bergairah kembali. Bakatku yang sempat tenggelam muncul kembali, aku sangat lemah di pelajaran hitung-hitungan dan kesenian. Akan tetapi analisa dan nalarku sangat tajam. Dan aku sangat unggul di pelajarn itu. Aku menguasai pelajaran sosiologi dengan baik bahkan mampu menguraikan persoalan beserta contoh lebih baik dari guruku waktu itu. Hingga kemudian dia percaya padaku dan memintaku untuk membantunya mengajarkan pelajaran tersebut di kelas-kelas lain. Bahkan tidak jarang aku juga menyampaikan materi di depan kakak kelasku.
Aku senang sekali. Dan semakin hari aku semakin bersemangat untuk mengasah kembali kemampuanku. Akan tetapi meski demikian, aku tetap diriku yang dulu. Diriku yang terpeduli pada apapun. Dan melakukan apapun yang hanya menurutku itu aku sukai dan membuatku senang. Selebihnya aku tidak perduli. Yang penting bagiku aku tidak secara sengaja mengganggu orang-orang itu. Kalau kemudian tanpa sengaja, aku menyakiti mereka itu bukan salahku. Dan kalau mereka mau silahkan saja mereka menyingkir. Karena aku tidak butuh mereka.
Yang berubah adalah semangatku, semangatku untuk melihat lebih jauh ke depan. Dan benar saja aku hanya akan melihat ke depan dan tetap berjalan lurus ke depan tanpa perduli pada apa yang ada di belakang, samping kiri atau kananku. Karena yang ada di belakangku, aku sudah menganggapnya sebagai kerikil-kerikil tajam yang datang dari surga untukku. Kerikil yng di turunkan untuk menempaku menjadi kokoh.
Sekokoh ibuku, dan sekokoh apapun yang aku pikirkan. Sedangkan yang disamping kiri dan kananku, adalah seperangkat aturan yag mohon maaf kurang kupahami. Yang menurutku hanya akan menghalangi aku untuk menjadi diriku yang sebenarnya. Diriku dalam kerangka yang sudah kubangun sedemikian lama dan baru mulai ku proyeksikan dalam tindakan-tindakan yang nyata dan egois.