Rabu, 08 Juni 2011

sublimisasi budaya patriarki dalam produk-produk media massa


Pendahuluan
Budaya patriarki, adalah budaya yang sudah melekat, di pahami, dianut dan diamalakan oleh hampir seluruh suku di seluruh indonesia. Dimana kemudian budaya inilah yang mengatur secara utuh proses interaksi antara laki-laki dan perempuan di dalam tatanan masyarakat tersebut.
Kemudian budaya patriarki itu dapat di defenisiskan berupa setiap tindakan, tatanan nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat yang secara tekstual maupun kontekstual lebih berpihak pada laki-laki dibanding perempuan. Ada perbedaan-perbedaan yang sangat signifikan di sini anatara laki-laki dan perempuan. Pembagian hak dan kewajiban di dasarkan pada jenis kelamin kodratinya.
Yang kemudian, budaya patriarki inilah yang menjadi akar dari segala akar masalah lahirnya praktek-praktek kekerasan berbasis gender. Yang hingga saaat ini masih merupakan tindak kejahatan tertinggi yang dialami oleh para perempuan di negara kita. Baik yang terjadi di wilayah domestik (rumah tangga) maupun diwilayah publik seperti institusi pendidikan, tempat kerja dan fasilitas-fasilitas sosial sepeti pasar dan sebagainya.
Tidak ada yang tahu secara pasti kapan sebenarnya budaya ini mulai berkembang di dalam masyarakat kita, akan tetapi kemudian budaya inisudah mengakar, mendarah daging dan kemudian tanpa di sadari menjadi idiologi bagi masyarakat bangsa kita.
Kemajuan zaman, globalisasi, modernisasi serta pernyataan serta kenyataan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beragamapun kemudian tidak mengikis eksistensi maupun esensi budaya tersebut di masyarakat kita.
Lalu bagaimana dengan masa sekarang ini? Masa dimana akses terbuka lebar, kesempatan di berikan seluas-luasnya kepada setiap individu di negeri ini. Apakah budaya patriarkis seperti yang kita maksudkan diatas sudah luntur dan hilang dari bangsa kita?

Sublimisasi nilai
Perjuangan untuk mengentaskan proses pemiskinan terhadap perempuan dari berbagai macam praktek-praktek budaya ini sesungguhnya telah dilakukan sejak lama sekali oleh para aktivis perempuan maupun kaum feminis. Di bengkulu sendiri misalnya perjuangan nyata untuk melahirkan masyarakat yang berkeadilan berbasis gender diwujudkan dengan mendirikan lembaga Cahaya Perempuan-WCC, sebagai lembaga yang mendedikasikan dirinya untuk melayani perempuan koran kekerasan berbasis gender. sehingga kemudian perempuan mampu berdaya dan membangun budaya baru di dalam kehidupan domestiknya.
Begitupun di tingkat nasional, kita mengenal banyak sekali tokoh feminis yang dengan lantang meneriakkan keadilan bagi kaum perempuan. Apakah kemudian perjuangan itu benar-benar sudah sampai pada titik yang di harapkan?
Mungkin saja ia, karena sekarang sudah sangat langka kita menemukan perempuan-perempuan sepeti Kartini, ataupun perempuan-perempuan lainnya yang tidak di beri kesempatan untuk memperoleh akses pendidikan maupun terlibat kehidupan-kehidupan di ranah publik.
Ternyata perjuangan kaum feminis belum selesai, budaya patriarki masih saja menjadi budaya yang hingga saat ini masih menancapkan akar-akarnya di bumi bangsa kita. Membangun tembok-tembok maya sebagai benteng dominasi atas kaum perempuan.  Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Apakah perjuangan kaum feminis yang dirintis oleh ibu kita kartini tidak membuahkan hasil apa-apa?
Bukan, bukan tidak membuahkan apa-apa, hanya saja sejauh ini upaya-upaya untuk mempertahankan nilai-nilai patriarkis tersebut justru lebih kuat dibandingkan dengan upaya untuk mengurangi dan mengikis buidaya tersebut dari bangsa ini.
Dapat kita lihat toh, berapa banyak perempuan sekarang yang tampil di hadapan publik, menjadi pemakalah di seminar-seminar besar. Sukses menempuh pendidikan bahkan keluar negeri. Menjadi anggota legislatif, dan banyak lagi hal-hal yang dilakukan perempuan kita. hal-hal yang di zamannya kartini adalah sesuatu yang mustahil telah menjadi aktivitas perempuan.
Tapi keterbukaan aksaes tersebut kemudian tidak berarti membuat perempuan itu bebas dari kungkungan budaya patriarki, bukan berarti perempuan telah menanggalkan posisi subordinatnya. Tidak p[erempuan kita tetap saja di bawah dominasi laki-laki. Proses pembunuhan karakter, pemiskinan dan penguasaan atas diri perempuan secara utuh masih dilakukan hingga sekarang.
Hanya saja yang dilakukan sejauh ini adalah proses sublimisasi, dimana praktek akan nilai-nilai patriarki tersebut kemudian di kemas sedemikian rupa sehingga tanpa disadari proses hegemoni terhadap budaya ini tetap dilakukan hingga detik ini.

Media massa dan rekonstruksi nilai
Dalam proses hegemoni itu, media massa memiliki peran yang sangat besar, dimana kemudian medai massa menjadi pelaku utama rekontruksi nilai-nilai patriarkis ini ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia. bagaimana kemudian media massa mengemas dengan sedemikian cantiknya nilai-nilai patriarkis tersebut dalam produk-produk yang dihasilakannya. Baik itu berupa iklan, sinetron, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh misalnya sinetron pesantren rock n’ roll, yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi kita. Kalau kita cermati lagi nila-nilai pesan yang disampaikan oleh sang ustad dalam ceramah-ceramah yang disisipkan dalam pertunjukan sinetron tersebut maka kita akan menemukan banyak sekali praktek-praktek penafsiran agama yang patriarki. dimana keberadaan perempuan sebagai sub-ordinasi dari keberadaan laki-laki.
Fungsi pendidikan, yang dimiliki media massa seyogyanya di gunakan untuk proses mencerdaskan masyarakat. Melahirkan masyarakat yang kreatif, asertif dan mampu bersaing di dunia yang serba global seperti sekarang ini. Tapi dalam prakteknya fungsi itu justru disalah artikan.
Media massa justru menjadi pelaku utama rekonstruksi nilai-nilai patriarkis tersebut. Sehingga kemudian nilai-nilai patriarki tersebut masih saja berkembang dan mengakar di dalam tubuh dan tatanan kehidupan masyarakat dan negara kita.
Ada banyak  faktor yang bisa di inventarisir dari persoalan ini diantaranya adalah:
1.      Adanya kepentingan dari laki-laki untuk mempertahankan posisi ordinat yang secara turun temurun telah di milikinya.
2.      Awak media belum sadar gender
3.      Pengetahuan awak media yang bias gender.
Tiga point diatas hanya beberapa faktor penyuebab saja yang membuat budaya patriarkis masih dipertahankan  dan tetap menjkadi warisan agung yang wajib diberikan kepada generasi-generasi seterusnya. Apakah benar kita sebagai manusia yang percaya bahwa tidak ada seorangpun yang lebih berkuasa selain TUHAN, apakah kita akan membiarkan oranglain kemudian menjadi TUHAN dengan membiarkan dia seenaknya menentukan kodrat orang lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

diharapkan komentar yang membangun, tidak mengandung kekerasan berbasis syara' dan gender.