Semenjak menikah,
banyak teman yang menyampaikan kekhawatirannya mengenai saya, mengenai beberapa
hal yang mungkin tidak akan saya lakukan lagi. Beberapa adik mengatakan,
menulislah? Kenapa kamu tidak menjadi seperti dulu lagi? Apakah menikah dan
memiliki anak kemudian menumpulkan otakmu? Menghilangkan semua idemu? Lalu apa
yang bisa aku lakukan selain tersenyum dan membiarkan mereka berpikir begitu. Toh
terkadang kita juga harus membiarkan orang berpikir sesukanya.
Memikirkan itu semua,
aku jadi menghitung tentang begitu banyak hal yang aku pikirkan, begitu banyak
ide yang muncul di kepalaku. Aku menyusun kalimat-kalimat bagus yang tentu saja
aku tulis dan akan aku tulis. Dan menjadi ibu, mengurus rumah tangga terkadang membuat semua ide itu bermunculan dengan berani. Bagaimana
tidak ketika aku mencuci piring aku berbincang dengan diriku sendiri. Memarahi diriku
sendiri, memarahi semua ketidaknyamananku pada semua yang aku lihat, pada semua
kekacauan yang membuat aku sulit bernafas dengan baik. Dan entah kenapa kata
yang terucap dan tertulis selalu tidak sepersekian persen dari yang ada di
kepalaku. Aku membiarkannya mengendap di sana. Memilih membiarkan hanya aku
yang tau dan memikirkannya.
Melihat kasusku, aku
memikirkan mengapa begitu banyak orang menjadi kecanduan sosial media? Mengapa orang
menjadi begitu suka memamerkan apapun di sosial medianya, mungkin alasannya
sama, ada banyak hal yang tidak bisa disampaikan secara langsung, kita harus
memilih kata, memilih waktu dan kita tidak yakin apakah kita akan benar-benar
mengatakannya. Lalu kemudian sosial media muncul, mengurung kita semua dalam
layar-layar mini yang membuat kita merasa berada dalam diri kita sendiri,
merasa bahwa semuanya hanya tentang kita, dan dia bertanya dengan gamblang “APA
YANG KAMU PIKIRKAN” betapa sosial media mengajak kita untuk jujur, mengatakan
apapun yang perlu kita katakana, menyampaikannya sejelas bagaimana kita
memikirkannya.
Setiap orang, tidak
perduli siapa dan dimana dia berada, memiliki kegelisahannya sendiri, memiliki
ketakutannya sendiri dan memiliki kemarahannya sendiri, ada banyak hal yang
tidak bisa istri katakan kepada suami-suami mereka.
Ada banyak kata yang tidak
mampu di ucapkan anak kepada orangtua mereka, bagaimana mereka mengucapkan
selamat ulangtahun? Bagaimana mereka meminta maaf dan mengaku menyesal setelah
bertengkar.
Dan ada banyak hasrat yang
ingin disampaikan kepada kekasihnya, bahwa betapa mereka mencintainya,
memikirkannya, memperhatikan kekasihnya dengan baik. Tapi dia terlalu gengsi
untuk menyampaikannya.
Dan ada begitu banyak
kebencian yang kemudian membuat semua kesesakan, meninggalkan semua amrah, dan
membangun batas dan ruang gerak bagi setiap pemiliknya. Dan sekali lagi mereka
mengendap di pikiran dan ingin meledak di sana.
Maka mereka menulisnya
di sosial media mereka, dengan menulis di sana mereka merasa tengah bergumam
pada diri sendiri. Sekaligus mereka berharap bahwa oranglain akan membantunya
menyampaikan semua itu.
aku melihat bagaimana
masing-masing kita mencoba membiarkan kita semua telanjang, membiarkan diri
kita semua terbuka, membiarkan semua orang memahami kita, membiarkan semua
orang hadir dan membantu setiap persoalan kita. Membiarkan semua orang ikut
menanggung kemarahan kita. Kebencian kita dan kita melibatkan semua orang ke
dalam gumam-gumaman yang berdengung di kepala kita.
Kemudian, sebagian dari
kita marah, atau bahkan aku sendiri sering kesal melihat teman-teman di dunia
sosial yang update status persepersekian detik. Atau aku suka gerah melihat ada
yang memposting kebenciannya dengan bangga.
Lalu sebenarnya apa
persoalannya, bahwa para pemilik dan pengelola sosial media tersebut tahu betul
apa yang diperlukan setiap individu? Memahami betul bahwa setiap orang memiliki
haal yang ingin dikatakan, bahwa setiap orang terkadang ingin semua orang
menilainya dari banyak sisi, dan dia ingin mengeluarkan dirinya seterang-terang
mungkin. Mereka ingin semua orang ikut memahami ketakutan dan kekhawatirannya.
Dan kemudian mereka
mendesain itu semua dalam sebuah tekhnologi yang super canggih bersama
smartphone? Apa kita kecanggihan smartphone? Tidak bukan? Pikirkan ketika kamu
berada di desa, tidak ada sinyal, apa kamu akan tetap betah memegang dan terus
memandanginya? Apa kamu akan tersenyum atau menangis karenanya? Tidak bukan? Ingat seberapapun canggihnya
smartphonemu akan menjadi tidak berguna
ketika koneksi internetnya buruk atau bahkan kamu tidak memiliki kuota?
Kita membutuhkan sosial
media, untuk menampakkan diri kita dengan sangat terang. Dengan sangat baik dan
kita ingin setiap orang memahami kita dengan baik. Mungkin beberapa dari kita
tetap memilih apa yang akan di sampaikan, atau membuat kamuflase untuk
membangun citra positif tentang diri kita. Namun tetap saja sebenarnya kita
ingin sekali telanjang secara pikiran.