Rabu, 06 Desember 2017

SOSIAL MEDIA DAN KETELANJANGAN



Semenjak menikah, banyak teman yang menyampaikan kekhawatirannya mengenai saya, mengenai beberapa hal yang mungkin tidak akan saya lakukan lagi. Beberapa adik mengatakan, menulislah? Kenapa kamu tidak menjadi seperti dulu lagi? Apakah menikah dan memiliki anak kemudian menumpulkan otakmu? Menghilangkan semua idemu? Lalu apa yang bisa aku lakukan selain tersenyum dan membiarkan mereka berpikir begitu. Toh terkadang kita juga harus membiarkan orang berpikir sesukanya.
Memikirkan itu semua, aku jadi menghitung tentang begitu banyak hal yang aku pikirkan, begitu banyak ide yang muncul di kepalaku. Aku menyusun kalimat-kalimat bagus yang tentu saja aku tulis dan akan aku tulis. Dan menjadi ibu, mengurus rumah tangga terkadang membuat  semua ide itu bermunculan dengan berani. Bagaimana tidak ketika aku mencuci piring aku berbincang dengan diriku sendiri. Memarahi diriku sendiri, memarahi semua ketidaknyamananku pada semua yang aku lihat, pada semua kekacauan yang membuat aku sulit bernafas dengan baik. Dan entah kenapa kata yang terucap dan tertulis selalu tidak sepersekian persen dari yang ada di kepalaku. Aku membiarkannya mengendap di sana. Memilih membiarkan hanya aku yang tau dan memikirkannya.
Melihat kasusku, aku memikirkan mengapa begitu banyak orang menjadi kecanduan sosial media? Mengapa orang menjadi begitu suka memamerkan apapun di sosial medianya, mungkin alasannya sama, ada banyak hal yang tidak bisa disampaikan secara langsung, kita harus memilih kata, memilih waktu dan kita tidak yakin apakah kita akan benar-benar mengatakannya. Lalu kemudian sosial media muncul, mengurung kita semua dalam layar-layar mini yang membuat kita merasa berada dalam diri kita sendiri, merasa bahwa semuanya hanya tentang kita, dan dia bertanya dengan gamblang “APA YANG KAMU PIKIRKAN” betapa sosial media mengajak kita untuk jujur, mengatakan apapun yang perlu kita katakana, menyampaikannya sejelas bagaimana kita memikirkannya.
Setiap orang, tidak perduli siapa dan dimana dia berada, memiliki kegelisahannya sendiri, memiliki ketakutannya sendiri dan memiliki kemarahannya sendiri, ada banyak hal yang tidak bisa istri katakan kepada suami-suami mereka.
Ada banyak kata yang tidak mampu di ucapkan anak kepada orangtua mereka, bagaimana mereka mengucapkan selamat ulangtahun? Bagaimana mereka meminta maaf dan mengaku menyesal setelah bertengkar.
Dan ada banyak hasrat yang ingin disampaikan kepada kekasihnya, bahwa betapa mereka mencintainya, memikirkannya, memperhatikan kekasihnya dengan baik. Tapi dia terlalu gengsi untuk menyampaikannya.
Dan ada begitu banyak kebencian yang kemudian membuat semua kesesakan, meninggalkan semua amrah, dan membangun batas dan ruang gerak bagi setiap pemiliknya. Dan sekali lagi mereka mengendap di pikiran dan ingin meledak di sana.
Maka mereka menulisnya di sosial media mereka, dengan menulis di sana mereka merasa tengah bergumam pada diri sendiri. Sekaligus mereka berharap bahwa oranglain akan membantunya menyampaikan semua itu.
aku melihat bagaimana masing-masing kita mencoba membiarkan kita semua telanjang, membiarkan diri kita semua terbuka, membiarkan semua orang memahami kita, membiarkan semua orang hadir dan membantu setiap persoalan kita. Membiarkan semua orang ikut menanggung kemarahan kita. Kebencian kita dan kita melibatkan semua orang ke dalam gumam-gumaman yang berdengung di kepala kita.
Kemudian, sebagian dari kita marah, atau bahkan aku sendiri sering kesal melihat teman-teman di dunia sosial yang update status persepersekian detik. Atau aku suka gerah melihat ada yang memposting kebenciannya dengan bangga.
Lalu sebenarnya apa persoalannya, bahwa para pemilik dan pengelola sosial media tersebut tahu betul apa yang diperlukan setiap individu? Memahami betul bahwa setiap orang memiliki haal yang ingin dikatakan, bahwa setiap orang terkadang ingin semua orang menilainya dari banyak sisi, dan dia ingin mengeluarkan dirinya seterang-terang mungkin. Mereka ingin semua orang ikut memahami ketakutan dan kekhawatirannya.
Dan kemudian mereka mendesain itu semua dalam sebuah tekhnologi yang super canggih bersama smartphone? Apa kita kecanggihan smartphone? Tidak bukan? Pikirkan ketika kamu berada di desa, tidak ada sinyal, apa kamu akan tetap betah memegang dan terus memandanginya? Apa kamu akan tersenyum atau menangis karenanya? Tidak bukan?  Ingat seberapapun canggihnya smartphonemu  akan menjadi tidak berguna ketika koneksi internetnya buruk atau bahkan kamu tidak memiliki kuota?
Kita membutuhkan sosial media, untuk menampakkan diri kita dengan sangat terang. Dengan sangat baik dan kita ingin setiap orang memahami kita dengan baik. Mungkin beberapa dari kita tetap memilih apa yang akan di sampaikan, atau membuat kamuflase untuk membangun citra positif tentang diri kita. Namun tetap saja sebenarnya kita ingin sekali telanjang secara pikiran.